Jumat, September 28, 2007

Ketua Panja Illegal Logging DPR Kembalikan Bingkisan dari Raja Garuda Mas (RGM)

[Detik Dotcom] - Meski KPK telah melarang pejabat negara menerima bingkisan Lebaran, ternyata masih ada perusahaan yang nekat memberikan parcel. Salah satunya PT RGM Indonesia. Parcel itu diterima Aulia Rahman, Ketua Panja Illegal Logging yang juga anggota FPG DPR. Namun, karena takut dengan pasal gatifikasi, Aulia berencana mengembalikan bingkisan berukuran 25 X 25 cm itu.

“Saya ini pejabat negara, karena ada UU Gratifikasi dan seruan lasangan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), saya akan mengembalikan ini,” kata Aulia dalam jumpa pers di Gedung DPR Senayan, Jakarta, Jumat (28/9).

Aulia juga mengaku tidak kenal mengenal pimpinan RGM. “Saya tidak kenal dengan para pejabatnya, dan pekerjaan saya tidak ada hubungannya dengan perusahaan itu. Memang saya menjadi Ketua Panja Illegal Logging, dan saya pernah mengeluarkan pernyataan kerusakan hutan tanggung jawab siapa,” beber Aulia.

Bingkisan yang dibungkus dengan kertas coklat itu diberikan menjelang buka puasa Kamis, 27 September. Bingkisan itu dikirimkan langsung ke rumahnya di kawasan Cikini. “Saya tidak berhak membuka di sini, biar nanti saya serahkan ke KPK biar dibuka, kalau mau.” Kata Aulia.

Kepada wartawan, Aulia memperlihatkan amplop bertuliskan “Kepada Yth, Bapak Aulia Rahman SH di tempat”. Di sudut lain tertulis “Dari PT RGM Indonesia di Jalam MH Thamrin, No 31, Jakarta 10230”. “Namanya saja sudah salah, padahal saya sudah doctor,” cetus Aulia. (*)

Selasa, September 25, 2007

Pantaskah Kita Tidak Menghargai Mantan Presiden ?

[Indonesia Care Group] - Berita mengenai kegagalan Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri mengunjungi korban gempa di Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat (Sumbar) untuk memberikan bantuan kepada korban gempa sungguh sangat memprihatinkan dan melukai hati rakyat. Akibatnya, hingga saat ini timbul tanda tanya besar : Mengapa pemerintah tidak menghargai mantan presidennya ? yang entah kapan akan dijawab pemerintah.

Seperti diberitakan luas, termasuk media kita ini, Danrem 032 Wirabraja Kolonel TNI Bambang Subagyo dan Danlanud Tabing Padang Letkol Pnb Sugiharto di Bandara Minangkabau Padang menyampaikan bahwa Mabes TNI melarang penggunaan helikopter yang akan digunakan oleh Megawati. Menurut Wasekjen PDIP Agnita Singadikane, sebenarnya awalnya dikatakan bisa terbang, tetapi kemudian ada pemberitahuan dari Cilangkap (Mabes TNI) tidak boleh digunakan.

Tentu saja pelarangan sangat mengherankan. Mengapa upaya warga negara yang kebetulan mantan Presiden ingin membantu korban bencana kok mesti dihalang-halangi seperti ini. Kasus ini dipastikan berpotensi menurunkan citra baik TNI yang selama ini dipelihara dengan baik. Oleh sebab itu, jika penyebab utamanya adalah oknum petinggi militer, sepantasnya dia diberikan sanksi militer – tentu saja setelah dilakukan penyelidikan yang mendalam.

Dalam konteks ini, kita sepenuhnya mendukung mantan Kasum TNI Letjen (Purn) Suaidy Marasabessy yang menyatakan agar Mabes TNI menjelaskan alasan yang rasional mengenai pelarangan pesawat helikopter terhadap Megawati. Suaidy menyetakan hal demikian tentu bukan tanpa argumentasi. Menurutnya, kasus ini berpotensi menimbulkan konflik politik yang berkepanjangan, sangat menghambat inisiatif rujuk nasional, serta menyuburkan dendam antar elit politik.

Pertanyaan kita selanjutnya, mengapa pemerintah membiarkan persoalan ini terjadi ? Bukankah pencitraan dan public relations yang selalu dibangun oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bisa pupus gara-gara kasus ini ? Oleh karena itu, agar kejadian seperti ini tidak terulang lagi, ada dua hikmah yang harus dijadikan pelajaran oleh pemerintah dan warga.

Pertama, sebaiknya pemerintah tidak arogan dengan menutup mata dan telinga atas partisipasi warga terhadap korban bencana – apalagi pemerintah menolak bantuan asing. Sepanjang untuk kepentingan sosial hendaknya pemerintah mendukung upaya warga apalagi niatnya sangat mulia, yaitu membantu korban gempa. Kedua, marilah kita meningkatkan kesetikawanan sosial dengan saling tolong menolong dan bergotong royong antar sesama. Sudah saatnya kita tidak tergantung kepada pemerintah – anggap saja pemerintahan kita sekarang ini sedang tidak berfungsi normal.

(Sumber : Kontan (26/9/2007), Media Indonesia (27/9/2007), Suara Pembaruan (28/9/2007), Bisnis Indonesia (29/9/2007), Koran Tempo (3/10/2007), Majalah Trust (1-7/10/2007), Majalah Tempo (7/10/2007).

Jumat, September 21, 2007

Mendukung BPK Soal Audit Pungutan Biaya Perkara MA

[Indonesian Care Group] - Langkah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melaporkan Mahkamah Agung (MA) kepada Kepolisian RI (Polri) perlu mendapat dukungan publik secara luas. Mengapa ? sebagaimana manusia pada umumnya, para pejabat MA juga manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan-kesalahan. Apalagi BPK merasa dihalang-halangi ketika akan melakukan audit soal pungutan biaya perkara– yang seharusnya merupakan bagian dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

Mengutip keterangan Kepala Direktorat Utama Revbang BPK RI Daeng M Natzier -- seperti diberitakan media ini -- BPK menilai Sekretaris MA Rum Nessa melakukan perbuatan mencegah, menghalangi, dan menggagalkan pemeriksaan biaya perkara. Penghalangan audit dilakukan dengan adanya surat Sekretaris MA No 314/SEK/01/VIII/2007 tanggal 30 Agustus, tentang keberatannya untuk diperiksa dan diaudit BPK.

Keberatan MA tersebut mengherankan, karena BPK hanya menjalankan amanat UUD 1945 dan UU Keuangan Negara untuk melakukan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara. Apalagi Menteri Keuangan Sri Mulyani juga sependapatan dengan BPK yang menilai pungutan di MA termasuk PNBP.

Kami dan Indonesian Good Governance Care (IGCC) sangat menyesalkan sikap MA yang tidak kooperatif untuk diaudit oleh BPK. Padahal jika tidak ada persoalan, seharusnya MA dengan sikap ksatria tidak mempermasalahkan soal audit ini. Bahkan tanpa diminta pun seharusnya menyesuaikan diri dengan ketentuan UU Keuangan Negara – sebagaimana yang sudah dilakukan oleh lembaga-lembaga lainnya. Penolakan yang dilakukan oleh MA semakin menjatuhkan image MA karena tidak transparan dan tidak akuntable. Bukan itu saja, kita juga curiga ada apa-apa dalam pengelolaan pungutan biaya perkara.

Sudah sepantasnya kita semua menyemangati BPK untuk tidak kendor melawan arogansi institusi. Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sepantasnya tidak menutup-nutupi masalah ini, justeru seharusnya mendorong BPK untuk menyelesaikan masalah ini secara hukum. BPK sudah mengawalinya dengan langkah cantik, yaitu melaporkan MA kepada Polri. Bola kini ada di tangan Kapolri dan tentu saja Presiden SBY.

(Sumber : Rakyat Merdeka Dotcom (21/9/2007), Okezone Dotcom (21/9/2007), Sinar Harapan (22/9/2007), Kontan (22/9/2007), Koran Tempo (24/9), Majalah Trust (24-30/9/2007), Media Indonesia (26/9/2007), Detik Dotcom (26/9/2007).

Rabu, September 19, 2007

Indonesian Consumer Care (ICC) Minta Pemerintah Menindak Direksi Telkom

[Indonesian Care Group] - Pemerintah diminta menindak direksi PT Telkom Indonesia Tbk karena dinilai melakukan kesalahan dalam prosedur pada saat memberikan salinan percakapan melalui SMS (pesan pendek) yang dilakukan oleh salah satu konsumen Telkom Fleksi kepada polisi. Jika prosedur tersebut tidak diperbaiki oleh manajemen PT Telkom, dapat dipastikan merusak kredibilitas dan kepercayaan konsumen terhadap BUMN yang telah go public tersebut.

“Pemerintah terutama menteri-menteri yang terkait, seperti Menneg BUMN dan Menkominfo harus meneliti kasus ini dengan baik. Hasilnya, bila petugas di Telkom tidak menjalankan prosedur dengan benar, maka Direksi Telkom pun harus ditindak, atau diminta mundur,” kata Bunga Pratiwi, Direktur Eksekutif Indonesian Consumer Care (ICC) di Jakarta, Rabu (19/9).

Bunga menilai, PT Telkom dinilai telah melakukan kesalahan prosedur dengan memberikan transkrip percakapan antara wartawan Tempo dengan mantan karyawan PT Asian Agri (anak perusahaan Raja Garuda Mas/RGM) kepada polisi. Padahal percakapan yang dilakukan dimaksudkan untuk menggali informasi adanya penggelapan pajak yang dilakukan oleh korporasi tersebut.

Namun, polisi bukannya menguber penggelap pajak, malah membuang waktu dengan mempermasalahkan komunikasi wartawan. “Kami curiga, ada oknum polisi yang bertindak bukan atas dasar kepentingan umum, tetapi atas dasar kesepakatan dengan pengusaha. Kami meminta Kapolri Jenderal Sutarto akan menyelidiki ada motivasi lain dibalik pemanggilan wartawan oleh oknum polisi,” kata Bunga.

Dia menambahkan, jika pihak Telkom dan Polisi berkonspirasi tanpa mengindahkan prosedur maka bisa dipastikan Telkom akan kehilangan banyak pelanggaan dan bakal kalah bersaing dengan operator-operator seluler lainnya. “Akibatnya, negara juga yang dirugikan, karena Telkom ini BUMN yang sudah menjadi milik publik. Kalau terbukti curang, sebaiknya Direksi Telkom dan Pejabat Polisi yang bertanggungjawab harus dipecat,” katanya.

Sesuai dengan UU No 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi dan Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi dengan tegas menyatakan bahwa setiap bentuk penyadapan dilarang. Namun demikian dikecualikan untuk keperluan pidana namun harus atas permintaan tertulis Jaksa Agung dan/atau Kepala Kepolisian RI untuk tindak pidana tertentu.

Sedangkan atas permintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu dapat dilakukan atas permintaan tertulis (dicap dan diteken pejabat yang berwenang) atas rekaman informasi tersebut harus ditembuskan kepada Menteri. Selanjutnya hasil rekaman informasi tersebut harus disampaikan kepada Jaksa Agung, Kelapa Kepolisian RI, atau penyidik, bukan malah disebarkan kepada publik.

(Sumber : Okezone Dotcom (19/9/2007).